"Ahh, itu hanya pembenaranmu saja, agar apa yang kau fikirkan dan lakukan itu tidak membuatmu merasa bersalah, bahwa apa yg kau fikirkan dan lakukan itu benar menurutmu. Kau mau agar kami juga jadi ikut-ikutan mendukung dan juga membenarkan kata-kata dan tindakanmu"
Mungkin pernah ada seseorang yang dengan terus terang dan lugas menyampaikan kata-kata seperti itu kepada kita. Tentunya, tidak semua orang, apalagi yang baru kenal mengatakan seperti itu kepada kita. Paling tidak orang tersebut adalah teman, saudara atau keluarga yang sudah kenal lama atau cukup akrab dengan kita.
Saat kata-kata itu disampaikan kepada kita, beragam kemungkinan respon kita kepada orang yang mengatakan itu. Ada yang jadi marah, karena apa yang kita sampaikan disanggah seperti itu. Ada yang jadi benci karena dianggap perkataannya mengada-ada dengan balasan kata-kata seperti itu. Ada yang bisa menerima, bahwa dibalik perkataan dan pernyataan itu sebenarnya ada usaha bahwa apa yang ingin kita sampaikan dianggap benar dan didukung orang-orang yang mendengarkan perkataan dan pernyataan kita itu.
Baca juga Beban hidup yang terlalu berat
Kalimat itu disampaikan seorang teman saat kami sedang menyelam bersama-sama, dan ada salah satu teman yang mengikat mati sabuk yang menjadi gantungan timah pemberatnya. Seorang teman menegur dan memberitahu, bahwa tindakan seperti itu bisa membahayakan dirinya. Apabila ada kondisi emergency saat didasar laut, dan harus segera naik ke permukaan, maka akan sulit baginya membuka sabuk pemberatnya. Jika sabuk pemberat tidak dibuang, bisa memperlambat mencapai permukaan air.
Dalam penyelaman, memang ada satu teknik, dimana pada kondisi sangat emergency, disarankan membuka dan membuang sabuk pemberat. Dengan begitu, daya apung lebih besar, seseorang bisa lebih cepat naik ke permukaan air. Teknik ini hanya boleh digunakan pada situasi yang betul-betul kritis dan juga telah dilatih saat mengikuti pelatihan selam. Karena ada resiko lain yang bisa membahayakan kesehatan tubuh atau bahkan nyawa seorang penyelam apabila ada kesalahan saat mempraktekkan teknik tersebut. Teknik ini disebut 'Emergency Buoyant Ascend'.
Saat ditegur mengenai situasi tersebut, penyelam yang mengikat mati sabuk pemberatnya menjawab "Selama saya mengerti dan memahami kondisi dan susunan peralatan saya sendiri, itu tidak berbahaya bagiku". Mendengar jawaban seperti itu, teman yang menegur tadi mengatakan " Ahh, itu pembenaranmu saja..."
Sering kita memang berusaha, agar apa yang kita fikirkan atau sesuatu yang kita lakukan itu kita anggap benar. Bahkan kita berusaha agar orang-orang disekitar kita juga mendukung dan menganggap apa yang kita fikirkan dan lakukan itu benar. Dengan demikian, rasa bersalah kita tidak ada. Agar kita tidak merasa malu atau merasa bodoh. Padahal dalam diri kita sendiri sebenarnya timbul rasa malu atau menyesal. Tetapi, supaya tidak terlihat malu atau terlihat bodoh, kita berusaha membuat alasan-alasan untuk menyenangkan hati dan perasaan kita.
Kalau alasan-alasan yang kita buat sesuai logika, sesuai aturan yang berlaku umum atau sesuai norma-norma yang diterima khalayak banyak, mungkin tidak akan disebut sebuah usaha pembenaran. Tetapi, kalau alasan itu diluar logika, aturan dan norma yang berlaku umum, jelas bahwa itu adalah sebuah usaha pembenaran bagi diri kita sendiri. Bahkan kadang karena terlalu berusaha melakukan pembenaran, kita malah akan terlihat lebih bodoh lagi. Tentunya akan lebih malu lagi.
Dalam hal penyelam mengikat mati sabuk pemberatnya saat digunakan menyelam, memang tidak pernah disarankan atau diajarkan saat pelatihan selam. Tetapi sebagai seorang penyelam profesional, seorang penyelam harus bertanggungjawab kepada peralatannya sendiri dan juga nyawanya sendiri. Yaaa, sebuah pembenaran tetaplah sebuah usaha pembenaran. Dan itu prinsipil bagi seseorang karena menyangkut ego seseorang.
No comments:
Post a Comment